Selasa, 17 Januari 2017

THANKS FOR THE ZUPPA SOUP, NISA!




Pernahkah sobat mencicipi zuppa soup?

Makanan pembuka ala eropa ini benar-benar baru di lidah saya, sepuluh tahun lalu, saat saya masih menjadi mahasiswa di Bandung dan tinggal ngekos.

Nisa, seorang murid yang manis dan ramah, menyuguhkan hasil masakan ibunya kepada saya. Saya begitu bingung dan takjub melihat penampilan makanan itu, cantik dan menggugah selera. Baunya juga harum, khas roti. Saya melihat Nisa menyeruput makanan itu perlahan-lahan.

" Ini apa, Nis? ", tanya saya bingung.
" Zuppa soup, teh... ibu yang bikin... dimakan, teh... mangga! ", ujarnya ramah.

Saat menikmatinya, saya seperti merasakan cinta seorang ibu mengalir melalui masakannya.

Besok-besoknya...

Ibunda Nisa selalu saja menyuguhi saya dengan makanan yang "aneh-aneh", untuk ukuran saya, mahasiswa pas-pasan yang harus bertahan hidup dengan kuliah sambil bekerja.

Salah satu makanan "aneh" dan baru menurut saya waktu itu adalah macaroni schottel. Tidak tanggung-tanggung, setelah kenyang menyantap seporsi macaroni schottel selepas mengajar, ibunya Nisa juga membekali saya dengan sepinggan macaroni schottel untuk dimakan di kosan. Lengkap dengan tips-tips untuk menghangatkannya.

Air mata saya hampir menetes...

Saya terharu melihat ada orang yang baik hati, tulus memberi, padahal baru saja kenal. Saya seperti mempunyai orang tua angkat di Bandung.

" Nisa kan enggak punya kakak, Teh Vira aja jadi kakaknya Nisa. Nah, Nisa minta diajarin matematika tuh sama Teh Vira. "

Mungkin beliau telah menganggap saya seperti anaknya sendiri...

Saya meninggalkan Bandung...

Setelah kurang lebih satu tahun saya mengenal keluarga Nisa yang baik itu, akhirnya saya pun harus berpisah karena kuliah saya telah selesai. Saya akan kembali ke Jakarta. 

Saya berpamitan pada keluarga yang ramah itu, mohon diri. Ibu Nisa berpesan untuk selalu menjaga silaturahmi walaupun sudah tidak mengajar lagi.

Waktu itu saya belum punya facebook, apalagi whatsapp. Komunikasi pun terputus. Saya pun sengaja menjaga jarak, karena merasa belum sukses.

Saya merasa malu...

Bukan apa-apa, dulu mereka secara tidak langsung telah mendukung kuliah saya dengan membayar saya sebagai guru privat. Kalau sekarang saya belum jadi "apa-apa", saya khawatir mereka akan berpikir bahwa bantuan mereka dahulu terkesan sia-sia.

Pola pikir yang kurang bijak sih, tapi itu dulu. Sekarang saya tidak lagi berpikir demikian.

Saya benar-benar kehilangan kontak dengan Nisa dan keluarganya...

Sedih memang, harus kehilangan silaturahmi dengan orang-orang baik yang telah berjasa kepada kita. Tapi sudahlah... ini pelajaran yang sangat berharga buat saya kedepannya. Pola pikir yang sempit justru malah merugikan diri kita sendiri. 

Sekarang, bahkan untuk berterimakasih pun saya tidak tahu harus kemana... kecuali mendatangi rumahnya di Buah Batu, yang belokannya pun saya sudah lupa.

Sweet memory with Nisa's family...

Thanks for the zuppa soup, Nisaaa!

1 komentar:

  1. Terimakasih sudah berkunjung ke blog saya.
    Silakan tinggalkan komentar!
    Saya akan dengan senang hati membalasnya.

    BalasHapus