Rabu, 18 Januari 2017

ADI YANG JENIUS DAN BIJAK


                                   


Anak yang istimewa

Ini adalah salah satu pengalaman berkesan selama 10 tahun saya mengajar privat. Mengajar anak dengan skor IQ 140. Kalau saya tidak salah, masuk kategori jenius.

Perjumpaan pertama saya dengan Adi adalah pada awal Maret 2008, kira-kira 9 tahun yang lalu. Waktu itu saya datang untuk mengajar kakaknya, Angga, kelas 5 SD. Adi sendiri masih kelas 1 SD.

Tubuhnya yang bongsor membuat saya menyangka kalau Adi adalah Angga. Tanpa tanya-tanya dulu, saya langsung menyapa, " Hallo, ini Angga, ya? "

Dengan tegas dan lugas, namun tetap ramah, bocah itu menjawab, " Bukan, aku Adi, adiknya Angga. Kakak Angga masih diatas."

Woooww...

Jawaban tegas, lugas, dan jelas itu benar-benar mengesankan. Kesan saya waktu itu adalah, anak ini cerdas dan percaya diri.

Beberapa menit setelah itu, sambil menunggu kakaknya turun dari lantai atas, dia menemani saya mengobrol. Dia mengambil posisi duduk di sebelah saya. Kemudian meluncurlah pertanyaan-pertanyaan kritis khas anak-anak secara bertubi-tubi pada saya.

" Mbak namanya siapa? "
" Rumahnya dimana? "
" Kesini naik apa? "
" Mbak udah kelas berapa? "
" SMA-nya dimana? "
" Kuliah itu apa? "

Bagi saya ini istimewa. Seorang anak yang belum genap berusia 7 tahun, dengan berani dan percaya diri membuka percakapan ramah tamah dengan orang yang baru saja dikenalnya. Luar biasa.

Selanjutnya...

Dalam perjalanan mengajar Angga, akhirnya Adi pun tertarik ikut les juga. Jadilah ia murid saya. Dalam belajar, daya tangkapnya cepat. Proses berpikirnya pun cepat. Urusan prestasi akademik, tidak perlu dikhawatirkan. Adi langganan juara 3 besar di kelasnya.

Selain prestasi akademik yang memuaskan, Adi juga lancar berbahasa inggris, pandai bermain piano, dan menggambar. Saya pernah dibuatkan gambar yang lucu sekali, dan alangkah terkejutnya saya, ketika dia menagih pembayaran. Rupanya Adi bermaksud menjual hasil karyanya pada saya. Hehehe... naluri bisnisnya juga bagus ternyata.

Selama proses belajar-mengajar dengan Adi, semakin banyak saja pertanyaan-pertanyaan kritis terlontar. Biasanya pertanyaan-pertanyaan filosofis yang mendasar atau pertanyaan-pertanyaan ilmiah.

" Mbak Vira kepalanya botak ya? Kok pakai jilbab? "
" Emangnya pake jilbab itu harus ya, buat muslim cewek? "
" Mbak Vira beragama Islam karena orang tua atau karena milih sendiri? "
" Menurut Mbak Vira, teroris yang ngebom itu jahat enggak? "
" Mbak Vira takut mati ga? "
" Menurut Mbak Vira, orang yang poligami itu gimana? "
" Menurut Mbak Vira, adil enggak, kalo seseorang dipilih untuk menjuarai suatu kontes, hanya karena dia berjilbab, dan bukan karena dia berkualitas? "

Itu adalah sedikit pertanyaan kritis dari Adi yang masih saya ingat. Dan ratusan pertanyaan kritis lainnya tentang berbagai hal pernah menjadi topik bahasan kami yang seru di sela-sela pelajaran. 

Pertanyaan-pertanyaan seputar dunia islam adalah pertanyaan yang cukup sering ditanyakan, karena maklum, Adi bukan muslim. Jadi ia seolah meminta penjelasan atau klarifikasi tentang isu-isu yang tengah beredar, langsung dari seorang muslim.

Sebagai guru...

Tentu saja saya harus memberikan jawaban yang jujur dan sejelas-jelasnya pada Adi. Supaya tidak timbul kesalahpahaman yang berujung pada kesalahan persepsinya akan suatu hal.

Sebagai sahabat...

Sebagai guru yang tidak terikat secara formal, saya lebih fleksibel memosisikan diri di hadapan Adi. Kadang jika ia sedang galau... maka saya pun berperan sebagai seorang sahabat yang rela mendengarkan keluh kesahnya dan menikmati saja bad moodnya. Hahaha...

Tapi Adi anak yang baik dan bijak. Jika bad moodnya telah berlalu, dia akan menjadi pelangi warna-warni yang ceria kembali. Dia akan menjadi anak yang manis dan murah hati. 

Saya pribadi banyak belajar dari sifat dan pandangan-pandangan Adi. Walaupun usianya belum dewasa, tapi untuk urusan bijak, Adi juaranya. Kadang saya saja yang orang dewasa, belum tentu mampu sebijak Adi. Cara berpikirnya seringkali seperti melampaui usianya.

Dan... Adi tetaplah anak-anak...

Dia sangat hobi bermain game dan menggambar manga. Cita-citanya adalah menjadi pencipta game dan pembuat komik. Cita-cita yang kurang disetujui oleh ibunya.

" Mama pingin aku jadi dokter, tapi aku enggak suka kerja dibawah tekanan. Kerja dengan risiko nyawa orang. Enggak. Aku maunya kerja yang fun. Jadi aku bisa enjoy. "

Itu jawaban Adi soal cita-cita. Penuh argumen.

Sekarang...

Adi sudah SMA dan sedang aktif-aktifnya ikut ekskul pecinta alam. Jadwalnya padat dan sibuk. Saya pun sudah tidak melayani murid SMA, karena sudah di luar kemampuan saya. Kami sudah jarang bertemu, hanya sesekali bertanya kabar via whatsapp. 

Saya merasa sangat beruntung bisa mengenal Adi dan belajar banyak darinya.

I'll miss u Adi... 

1 komentar:

  1. Terimakasih sudah berkunjung ke blog saya.
    Silakan meninggalkan komentar.
    Salam.

    BalasHapus