Minggu, 22 Januari 2017

JELAJAH JAKARTA NAIK KERETA ALA BACKPACKER






Image may contain: 2 people, people smiling, shoes, train and indoor
Hallo sobat blogger!

Perjalanan saya dan keluarga kecil di hari minggu ini mengusung 3 agenda: 
  • Emaknya pingin ikutan Kopdar Grup Backpacker di Kota Tua 
  • Anaknya pingin jalan-jalan naik kereta 
  • Bapaknya mau survey lokasi di Jatinegara

Yang jelas akan banyak manfaatnya buat balita 2,5 tahun saya yang mungil itu. Hitung-hitung ini adalah ajang belajar buat dia. Saya memang tidak memasukannya ke playgroup, tetapi saya sangat mengoptimalkan setiap kegiatan yang kami jalani supaya ada nilai pembelajarannya.

Di perjalanan, saya bisa mengenalkannya pada aneka macam alat transportasi dari delman sampai truk kontainer. Dia juga bisa melihat aneka tempat umum dari sekolah sampai stasiun. Dan masih banyak lagi. Saya kira itu akan lebih efektif dari pada hanya mengenalkannya lewat gambar-gambar. Dan yang pasti... she can enjoy the journey! Jadi enggak gampang tantrum seperti kurang piknik. Khikhikhi...

Berhubung sebelumnya saya menemani si bocah begadang sampai pagi dan baru tidur jam 7 pagi, akhirnya kita semua bangun kesorean. Ya, karena jadwal tidurnya bocah saya emang random. Sebenarnya sudah terlalu sore kita start. But it's okay... nothing to lose.

Brangkaattt!!!

Dari rumah, kita naik motor seperti biasa, sampai Stasiun Jurang Mangu. Di Jurang Mangu, si Revo butut diparkir cantik. Habis itu cek saldo e-ticket, lumayanlah ada saldo 16rb, masih bisa sekali jalan sampai Stasiun Kota.

Kereta kita pun datang, tujuan Tanah-Abang. Yeaayyy!!! Tidak terlalu padat. Hanya beberapa orang saja yang berdiri. Saya sih, alhamdulillah, selalu dikasih duduk sama penumpang lain, karena kan bawa si bocah yang masih balita 2.5 tahun. 

Hari minggu sore kereta relatif kosong

Kursi prioritas untuk ibu hamil, ibu membawa balita, lansia, dan penyandang disabilitas. Tersedia di setiap ujung gerbong.

Rute commuterline yang kita ambil rencananya seperti ini: Jurang Mangu - Tanah Abang -Duri - Kampung Bandan - Kota. Dengan harga tiket keseluruhan cuma 4rb rupiah saja. Berangkat dari Jurang Mangu jam 4.30 sore, sampai Kota jam 7.20 malam... Keretanya sih cepat, yang lama itu nunggu transit di Tanah Abang, Duri, dan Kampung Bandan. 

Hehehe... karena kemalaman sampainya... engga jadi kopdar deh...

Suasana di depan Stasiun Kota pada minggu malam... ramai...

Untuk urusan kopdar sepertinya saya sudah ketinggalan rombongan. Hehehe... tapi biarlah, kan masih ada 2 agenda lagi, urusan jalan-jalan si bocah dan urusan survey ayahnya.

Berhubung sudah laper berat, kita langsung merapat ke tukang nasgor n batagor di pinggiran stasiun Kota. Enggak terlalu spesial sih rasanya, standar aja. Tapi buat yang lagi laper berat kayak kita, yaaa... spesial banget! Lagian kalo jalan-jalan begini, ya cuma nasgor yang akrab sama lidah si bocah.

Selesai makan, saya pun kembali masuk stasiun Kota. Sementara ayahnya si bocah mengisi ulang saldo e-ticket, saya pun ber-selfie ria untuk mengabadikan gambar Stasiun Kota.

Arsitektur stasiun Kota kelihatannya seperti arsitektur zaman Belanda dulu. Bangunannya tinggi dengan tembok-tembok yang tebal. Khas bangunan kolonial. Kalau hanya melihat bangunannya saja, saya serasa melenggang ke masa silam. Tetapi kalau melihat aktivitas orang-orangnya, barulah saya tersadar bahwa ini sudah zaman internet.

Ahaii... inilah beberapa hasil jepretan amatir android saya yang tidak terlalu canggih. Tapi lumayanlah... dari pada tidak ada kenang-kenangan sama sekali.

Foto-foto mengabadikan Stasiun Kota

Ini di depan loket, ada beberapa mesin e-tiket yang bisa dioperasikan secara mandiri

Si bocah ogah difoto, maunya turun lari-lari, soalnya luas...

Setelah puas berfoto-foto di stasiun Beos alias Stasiun Jakarta Kota yang sangat legendaris dan bersejarah itu, perjalanan pun dilanjutkan menuju Stasiun Jatinegara.

Bye..bye... Beos! I can't forget the classic view of you!

Bye... bye... kita mau lanjut ke Jatinegara!

Perjalanan kereta ke stasiun Jatinegara cukup lancar. Hari sudah gelap diluar. Alhamdulillah si bocah anteng dan tidak rewel. Kelihatannya dia cukup menikmati perjalanan.

Tiba di Stasiun Jatinegara... Woooww!!!

Stasiun yang juga legendaris dan bersejarah ini rupanya berdandan. Cantik sekali dengan bunga-bunga hias dalam potnya di sepanjang peron. Duduk di kursi antiknya berasa kayak lagi syuting film tahun 40-an. Hehehe... Suasananya klasik beneeer. Banyak toko/restoran yang menjual makanan juga. Tatanannya rapi. Stasiun ini juga dilewati oleh kereta-kereta yang dari/menuju ke timur. Waaahh... jadi pingin ke Jogja atau kemana pun di jawa naik kereta...

Cieee... saking klasik dan romantisnya ini stasiun... si bocah aja sampe galau gitu...

Deretan toko makanan dan restoran. Rapi dan bersih.

Si bocah dan ayahnya sempat jajan Roti 'O di Stasiun Jatinegara, sebelum akhirnya naik kereta terakhir menuju Stasiun Manggarai. Lanjut ke Tanah Abang menuju Jurang Mangu. Sampai di Jurang Mangu jam 10.30 malam. Fiuuuhh...

Finally...

Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dengan bajet yang tidak sampai 100rb sekali trip (itu sudah termasuk bensin, tiket kereta PP, makan nasgor, batagor, Roti 'O, minum, dan parkir motor di stasiun)... we get the quality time and much experience.

Visit Jakarta and try the public transportation! 

Enjoy your trip!

Kamis, 19 Januari 2017

ANAKKU SUSAH MAKAN





Tadinya... 

Aku pikir anakku... 

Makan paginya bubur
Makan siang dan sorenya nasi plus sup ikan 
Selingannya baru mungkin kue/bubur kacang hijau/buah/susu
Tertib 
Ideal
Lazim
Pas dengan teori!


Kenyataannya... 

Pagi dia minum susu kotak plus apel/pisang/buah apapun yang dia jumpai di kulkas atau meja makan (yang kalo neneknya tau bisa histeris, Dovaa.. yah pagi2 minum susu ama buah, mencret dah tu bocah!). Dan itu adalah hasil perburuannya sendiri di seantero rumah. 

Siangnya makan roti/ nasi putih tok/ kue putu/kue pukis.

Sorenya makan mie goreng/pangsit kuah/otak-otak ikan/somay ayam/telur rebus bulet.

Selingannya mungkin wortel rebus atau biskuit.

Makan paginya bisa jam 10 atau 11. Makan siangnya bisa jam 2 siang. Makan sorenya bisa jam 7 malam.

Sangat jauh dari bayangan...

Siapa yang menduga selera makan anakku random begitu. Dibilang tidak mau makan tidak juga. Dibilang doyan makan tidak juga.

Akhirnya...

Setelah sekian lama tenggelam dalam kegalauan, akhirnya sekarang aku ikhlaskan Dova dengan style makannya sendiri, dari pada dia tidak makan sama sekali.

Aku harus mengingat kembali bahwa:

Sumber karbohidrat bukan cuma nasi, jadi aku toleransi pilihannya pada mie/makaroni/tepung-tepungan. 

Ikan/ayam tidak hanya bisa dicemplungkan dalam sup, tapi juga bisa dicampur tepung jadi somay atau otak-otak. 

Camilan itu tidak harus kue/buah, tapi bisa juga wortel rebus atau telur rebus dicamil, digadoin sama dova. 

Aku juga mengalah bahwa menu sarapan tidak harus bubur, tapi juga bisa pisang atau pepaya buat sarapan. 

Baiklah

Dari pada dia ikuti aturan makan yang aku buat, malah tidak makan sama sekali.

Walhasil...

Tiap ke posyandu cempaka, BB Dova selalu 'aman'. Gemuk ya enggak, kurus banget ya enggak. Prinsipku, asal enggak BGM aja cukuplah. Toh emak bapaknya juga enggak gemuk-gemuk amat. 

Yang penting dia masih bisa nyanyi twinkle twinkle atau tik tik bunyi hujan dan belasan lagu bocah lainnya, ngitung 1 sampe 10 atau nyebutin seisi peternakan plus terjemahannya, dan alif-batasa sambil lompat-lompat jungkir balik tiap hari. Dan yang penting lagi, enggak gampang sakit. Cukuplah itu buat aku. Syukur alhamdulillah.

Walaupun anakku tidak terlalu doyan makan. Walaupun sekalinya makan porsinya kecil. Walaupun jam makannya terserah dia, kalo dia berasa lapar baru makan. Walopun menunya random suka-suka dia.

Biarlah...

Yang penting sehat kau, Nak. Amin.

ANAK-ANAK DAN MENIRU




Ada yang bilang...

Pilih pemimpin itu yang penting isinya, yang penting kinerjanya bagus. 

Ada pun dia suka marah-marah atau berkata-kata kasar, itu kan cuma luarnya, kemasannya.

Wah! 

Kalo saya sih ketika lihat produk yang kemasannya sudah rusak/kembung/sobek/bocor, ga bakalan beli! Isinya otomatis pasti rusak juga lah. 

Kondisi baik buruknya kemasan bisa menjadi representasi kualitas isinya. Persoalan kemasannya dari daun jagung, daun pisang, plastik, aluminium foil, kaca, atau kaleng itu bukan masalah. Yang penting kemasannya masih dalam kondisi baik dan layak.


Memilih... 

Kalo saya mau pilih pemimpin juga tentu yang bersikap dan berkata-kata baik. 

Kata-kata adalah doa dan pemimpin adalah teladan. Persoalan dia berasal dari suku mana, bidang keahlian apa, gendernya apa, itu bukan masalah. Yang penting perilakunya baik. Mudah-mudahan kinerjanya juga baik. Karena lisan yang selalu mengucap hal baik akan menuntun sistem di diri seseorang untuk berbuat baik juga. 

Selaras. Seimbang. Homeostasis.

Satu hal yang selalu saya khawatirkan

Apa jadinya generasi berikutnya di negeri ini, kalau setiap hari melihat pemimpinnya berkata-kata kasar dan mencerca. 

Anak-anak yang masih kertas putih akan mempelajari dalam benak mereka, oo..kalau kita marah caranya dengan mencaci orang, oo..kalau kita tidak setuju caranya dengan berkata-kata kasar, oo..kalau kita tersinggung caranya dengan menghardik-hardik. 

Hal itu akan meresap di alam bawah sadar anak-anak kita dan mereka akan meniru perilaku itu spontan tanpa mereka sadari.

Salam

BELAJAR BIJAK BERBAHASA





Lebaaayy...

Ada yang bilang reaksi boikot (perusahaan makanan) itu berlebihan. 

Apakah sebuah klarifikasi harus ditanggapi dengan kemarahan dan aksi boikot? Katanya, wajar saja toh, pihak perusahaan klarifikasi bahwa bukan mereka yang membagikan gratis, tetapi ada konsumen yang membeli dan membagikannya gratis.

Hmmm... klarifikasi... 

Sampai kapan pun yang namanya klarifikasi tidak pernah salah. Klarifikasi bertujuan untuk menjernihkan informasi. Itu betul. Sepakat.

Yang jadi masalah, apakah klarifikasi itu disampaikan dengan bahasa yang netral? Atau tendensius? Apakah diksinya membuat hati nyaman? atau malah membuat hati bergejolak? Sama-sama klarifikasi, tetapi respon yang didapat akan berbeda.

Klarifikasinya tidak salah, tetapi bahasanya yang kurang tepat. Tentu saja ketidaktepatan ini terjadi bukan seketika seperti kasus orang yang salah ucap karena terburu-buru ngomong atau salah sebut nama karena grogi. 

Ketidaktepatan ini tentu bukan tidak disengaja.

Ini tentang rasa...

Lisan adalah penerjemah dari apa yang tersirat di hati. Sesuatu yang terlintas di hati akan terkirim ke otak, kemudian otak akan memerintahkan lisan untuk berucap. Beda warna di dalam hati akan berbeda pula rasa bahasa yang terucapkan.

Tentu kita mengetahui, bagaimana perbedaan bahasa yang kita gunakan untuk menyapa si jantung hati yang lama tidak berjumpa dengan bahasa yang kita gunakan untuk menghadapi orang yang selalu menagih-nagih uang kos yang agak telat kita bayarkan. Yang pertama tentu lemah lembut mendayu, yang kedua mungkin agak kaku, gugup, dan defensif. 

Itulah yang saya maksud dengan rasa bahasa.

Saya memang bukan ahli bahasa...

Saya juga bukan sarjana bahasa. Tetapi saya yang lemah dan bodoh ini telah lebih dari tiga dekade hidup di bumi Indonesia dan selalu setia penjadi penutur bahasa Indonesia yang saya cintai. 

Saya telah menggunakan bahasa ini untuk semua fase kehidupan saya. Sejak saya hanya bisa menangis dalam buaian bunda, sampai kini saya yang membujuk si kecil di dalam buaian, Semua fase itu saya lewati dalam asuhan bahasa Indonesia.

Reaksi atas bahasa yang kurang enak

Maka ketika ada sebuah pengumuman disampaikan, siapa pun orang Indonesia, khususnya yang tengah berjuang di hari istimewa itu, akan merasakan ada rasa bahasa yang berbeda. 

Karena rasa bahasa itulah, timbul reaksi. Sekali lagi, reaksi timbul bukan karena klarifikasinya, karena klarifikasi adalah hak mereka. Tetapi tuturan bahasa dan pilihan kata dalam klarifikasi itu yang membuat tidak nyaman. Reaksi yang timbul tidaklah berlebihan menurut saya. Sesuatu yang wajar. 

Alamiah.

Untuk senyum dan sapa yang kurang saja konsumen berhak pindah restoran, apalagi untuk sebuah bahasa tulisan berbingkai pengumuman yang disebarluaskan yang membuat hati kurang nyaman, boleh-boleh saja konsumen tidak melanjutkan rutinitas pembelian. 

Sah-sah saja.

Bijaklah berbahasa!

Itulah mengapa pelajaran bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam menjadi bahan pertimbangan pada kelulusan pendidikan formal anak-anak kita, disamping pelajaran yang lain. Karena ini adalah salah satu bekal dasar untuk hidup di bumi Indonesia. 

Bijak berbahasa Indonesia akan menjalin persaudaraan sebangsa, kepahaman akan matematika akan menuntun logika berjalan di jalur yang benar, kepahaman akan ilmu alam akan memperkenalkan insan kepada hukum-hukum alam yang senantiasa berjalan secara alamiah tanpa bisa dibendung.

Salam damai

PEMIMPIN VERSI SAYA





Pilih mana?

Belakangan ini banyak orang yang mengajukan pertanyaan: lebih baik mana, pemimpin muslim tapi korupsi atau pemimpin non muslim tapi jujur?

Setiap warga negara Indonesia berhak menjawab pertanyaan itu sesuai dengan kriteria pemimpin yang mereka butuhkan dan mendasarkan pemikiran tentang kriteria tersebut pada nilai-nilai yang mereka anut. 

Setiap orang mungkin memiliki jawaban berbeda, tetapi sedikit perbedaan justru akan memperkaya Indonesia.

Saya pribadi...

Saya pribadi ketika diajukan pertanyaan seperti itu, akan bertanya kembali: 

  • Apakah di Indonesia ini benar-benar hanya ada 2 opsi tersisa? 
  • Apakah tidak ada opsi lain? 
  • Apakah semua muslim korupsi? 
  • Apakah semua non muslim jujur?
  • Apakah tidak ada muslim yang jujur? 
  • Apakah tidak ada non muslim yang korupsi? 

Logika sederhana. 

Tapi harus jelas dulu jawabannya. 

Jangan sampai pemikiran saya terpatok hanya pada 2 opsi itu seolah-olah di Indonesia sekarang ini benar-benar tidak ada opsi lain.

Setiap muslim diajarkan untuk jujur 

Jika dalam perjalanan kehidupan seorang muslim tergelincir melakukan kesalahan, tentu bukan salah agamanya. Yang bersangkutan secara pribadilah yang bersalah dan harus mempertangggungjawabkan perbuatannya, baik di hadapan hukum maupun di hadapan Allah. Begitu pula jika seorang pemimpin muslim terbukti korupsi, maka tentu saja dia harus menanggung segala konsekuensinya. 

Saya tentu marah dan kecewa kepada pemimpin semacam itu. Tetapi bukan berarti kesalahan satu, dua, atau beberapa orang kemudian dapat membenarkan saya untuk menganggap bahwa semua muslim pasti korupsi, atau semua muslim pasti tidak jujur. Tentu tidak demikian.

Allah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan... 

Ada siang untuk bekerja, ada malam untuk beristirahat. Ada penyakit, ada obatnya. Ada kesulitan, ada kemudahan. Ada permasalahan, ada solusi. Dan saya yakin, ketika Allah menciptakan suatu negeri, pasti ada pemimpinnya, yang akan membawa kesejahteraan kepada rakyat di negeri tersebut. 

Walaupun insan-insan yang diberi kelebihan oleh Allah ini mungkin jumlahnya tidak sebanyak orang-orang biasa, tapi pasti ada. Walaupun mungkin limited edition, tapi pasti ada. Nah, masalahnya apakah orang-orang seperti ini diberi kesempatan untuk tampil memimpin negara?

This is my answer!

Jadi kembali ke pertanyaan di atas, lebih baik mana, pemimpin muslim tapi korupsi atau pemimpin non muslim tapi jujur? Jawaban saya adalah: dua-duanya bukan kriteria saya. Tentu saja kriteria pemimpin yang saya butuhkan adalah pemimpin muslim yang jujur. 

Mudah-mudahan Allah memudahkan jalan bagi pemimpin yang demikian.

 Amin.

ANGKUTAN UMUM DI JAKARTA, SEJUTA RASA!





Malam ini saya naik kopaja... 

Betapa uniknya (atau betapa anehnya) pengalaman saya kali ini, karena sang sopir tiba-tiba menepikan kendaraannya, minta maaf sekenanya kepada para penumpang, dan turun melenggang dengan santainya untuk membeli PECEL LELE, di pinggir jalan!!!

Woowww!!!

Apakah dia pikir hanya dia yang lapar malam itu? Apakah dia pikir dia sedang mengangkut sanak-saudara dan handai-taulan dan bukannya para penumpang? Entahlah... Para penumpang kelihatannya sudah lelah bekerja seharian penuh dan tidak ada lagi energi tersisa untuk mendebat sang sopir antik itu.

Semenjak menikah empat tahun lalu, saya jadi jarang naik angkutan umum, karena biasanya dibonceng suami kesana-kemari. Namun pengalaman aneh saya malam ini naik kopaja (karena suami tidak bisa menjemput), membuat saya bernostalgia akan angkutan umum di Jakarta yang telah mendukung transportasi saya selama lebih dari 25 tahun.

Dahulu...

Perkenalan saya dengan angkutan umum di Jakarta adalah ketika usia 7 tahun, kelas 2 SD. Saya menggunakan kopaja untuk mencapai sekolah di Kedoya, dari rumah saya di Ciledug. Lumayan jauh dan menantang untuk ukuran bocah 7 tahun.

Kondisinya berjubel, penuh sesak, berdiri, dan busnya miring ke kiri (kayak lagunya Franky Sahilatua). Kadang kami terjepit tubuh orang dewasa, kadang jari terjepit jok plastik waktu berpegangan, gerah ampun-ampunan tidak ketulungan, kadang ditolak naik kalau jam sibuk, karena kami siswa hanya bayar 100 rupiah, sedangkan dewasa bayar 300 rupiah.

Kalau dari rumah belum sarapan, di tengah jalan antara Ciledug-Kedoya pasti semaput. Kalau sedang kurang beruntung, pasti kursi yang kita dapatkan dari hasil rebutan jam 5 pagi, harus diserahkan pada ibu-ibu (yang tidak hamil, tapi pakai high heel... beuuh... sapa suruh pake heel buu?? Modus. Ga bisa liat anak kecil seneng dapet duduk.)

Waktu itu kopaja adalah primadona... 

Dia adalah yang mulia ratu yang sangat kami cintai dan kami butuhkan. Ya iyalah... kaga ada lagi nyang laen! Lenggak-lenggoknya dari kejauhan bagaikan sang ratu yang berjalan anggun. Sopirnya udah kaya artis, dikenal dan ditunggu-tunggu. Ada yang punya banyak penggemar karena nyetirnya enak dan ramah anak, ada juga yang punya banyak haters karena ugal-ugalan dan anti ngangkut anak sekolah. Dua-duanya tetap dicari.

Angkot, ga jauh beda...

Enam tahun lamanya saya naik kopaja. Setelah itu berganti angkot, karena sekolah saya kan udah SMP-SMA di Kebon Jeruk.

Kondisinya enggak jauh beda. Rebutan, penuh, teman-teman laki-laki biasanya gantung di pintu angkot (bahaya sih, tapi mereka takut telat, kan belom ada ojek online). Kalau jam-jam sibuk, anak sekolah juga dimarjinalkan. Salah satu triknya supaya kita diangkut, ya.. bayar penuh seperti orang dewasa. Cuma untungnya, di angkot kita yang di dalam enggak berdiri seperti di bus. Jadi rada mendinglah.

Enam tahun juga saya berjibaku naik angkot dengan segala warna-warninya, sampai saya lulus SMA. Yeaaayyy!!!

Ujian SPMB, naik bus...

Dan angkutan umum pulalah yang mengantarkan saya menembus ujian SPMB 2002. Horrrayy!!! Dari rumah di Ciledug Tangerang jam 4 subuh, dengan target daerah Kayu Putih di Jakarta Timur sebagai lokasi ujian. Dengan diantar oleh emak saya tercinta, saya pun melanjutkan tidur di bus Kowanbisata. Masyiih ngantuukk...

Begitulah kiranya pengalaman saya selama menimba ilmu di Jakarta, telah mendapatkan pelayanan dan bantuan transportasi dari angkutan umum di Jakarta.

Sekarang...

Setelah lulus kuliah dan pulang kembali ke rumah, saya juga berkesempatan menaiki jenis transportasi umum yang lain selain kopaja, metromini, angkot, dan Bianglala/ Kowanbisata. Mereka adalah bus transjakarta, feeder busway, kereta api commuterline, bajay, taksi, dan yang terkini adalah ojek dan taksi online.

Pengalaman mengerikan...

Kalau dipikir-pikir, ada senang, seru, dan ngeri juga sih naik angkutan umum itu. Beberapa pengalaman "mengerikan" yang pernah saya alami/saksikan dan masih saya ingat adalah: 

  • Pelecehan seksual
  • Pencopetan (dengan berbagai metode)
  • Premanisme berbalut kegiatan mengamen 
  • Kekerasan (seorang wanita didorong keluar bus sampai jatuh oleh oknum yang tidak dikenal tanpa alasan yang jelas)
  • Rok tersangkut di pintu bus saat bus hendak melaju
  • Diturunkan seenaknya di tengah jalan 
  • Merasakan naik roller coaster sepanjang jalan Rempoa-Blok M karena metromini ugal-ugalan parah
  • Diserang oleh perokok yang ditegur baik-baik
  • Daaan...masih banyak lagi pengalaman buruk yang lain, sodara-sodara!

Tips... Noted!

Pokoknya, kalau mau bertualang di Jakarta dengan kendaraan umum, terutama bus, pastikan: 
  • Pakaian kita tidak ada yang berisiko membahayakan jiwa (rok terlalu lebar atau terlalu sempit, hak sepatu tinggi, dll)
  • Naik dengan kaki kanan dan turun dengan kaki kiri 
  • Turun kalau bus telah benar-benar berhenti
  • Tidak memakai pakaian atau perhiasan yang mencolok
  • Duduk/berdiri bersebelahan dengan sesama wanita (mencegah pelecehan seksual yang umumnya pelakunya pria)
  • Tidak perlu menanggapi ujaran-ujaran kasar dari oknum pengamen/sekelompok orang (biasanya sengaja memancing keributan agar kita lengah)
  • Jangan naik bus yang sepi
  • Kompak dengan penumpang lain kalau sesuatu yang buruk terjadi

This is my favourite!

Untuk saat ini, jenis transportasi umum di Jakarta yang jadi favorit saya adalah kereta api commuterline dan ojek online. Lebih nyaman, murah, dan anti macet... hehehe... Jadi bisa hemat waktu tempuh. 

Walaupun commuterline sangat padat di jam-jam sibuk, tapi mendinglah ada AC-nya, waktu tempuhnya singkat lagi, jadi kalau cuma berdiri 30 menit sih saya masih kuatlah. Jenis transportasi ini pula yang setia menemani saya wira-wiri Jakarta-Tangerang sewaktu hamil Dova.

Ojek online boleh juga, simpel, ga pake nawar, bisa menjangkau ke tempat-tempat yang tidak dilalui angkot, armadanya juga banyak, bisa jemput ke tempat. Tapi kelemahannya kalau jaringan internet ngadat, yah mau ga mau tawar-menawar lagi deh sama abang-abang opang, atau kalau bajet tipis yaa... back to angkot.

Fiuhhh... 

Lelah juga ya... 
Naik-turun kendaraan umum... 
Heheheh...

Naik angkutan umum di Jakarta itu sebenarnya seru sih, murah lagi (kalo dibandingin angkot di Bandung waktu saya kuliah dulu), tapi mesti ekstra HATI-HATI. Dan banyak-banyaklah berdoa, agar kita semua selamat sampai di tujuan. 

Semoga... 

Untuk kedepannya angkutan umum di Jakarta bisa lebih baik lagi, lebih ramah anak, lansia, ibu hamil, dan penyandang disabilitas. Bisa jadi kebanggaan masyarakatnya. Amin.

Rabu, 18 Januari 2017

ADI YANG JENIUS DAN BIJAK


                                   


Anak yang istimewa

Ini adalah salah satu pengalaman berkesan selama 10 tahun saya mengajar privat. Mengajar anak dengan skor IQ 140. Kalau saya tidak salah, masuk kategori jenius.

Perjumpaan pertama saya dengan Adi adalah pada awal Maret 2008, kira-kira 9 tahun yang lalu. Waktu itu saya datang untuk mengajar kakaknya, Angga, kelas 5 SD. Adi sendiri masih kelas 1 SD.

Tubuhnya yang bongsor membuat saya menyangka kalau Adi adalah Angga. Tanpa tanya-tanya dulu, saya langsung menyapa, " Hallo, ini Angga, ya? "

Dengan tegas dan lugas, namun tetap ramah, bocah itu menjawab, " Bukan, aku Adi, adiknya Angga. Kakak Angga masih diatas."

Woooww...

Jawaban tegas, lugas, dan jelas itu benar-benar mengesankan. Kesan saya waktu itu adalah, anak ini cerdas dan percaya diri.

Beberapa menit setelah itu, sambil menunggu kakaknya turun dari lantai atas, dia menemani saya mengobrol. Dia mengambil posisi duduk di sebelah saya. Kemudian meluncurlah pertanyaan-pertanyaan kritis khas anak-anak secara bertubi-tubi pada saya.

" Mbak namanya siapa? "
" Rumahnya dimana? "
" Kesini naik apa? "
" Mbak udah kelas berapa? "
" SMA-nya dimana? "
" Kuliah itu apa? "

Bagi saya ini istimewa. Seorang anak yang belum genap berusia 7 tahun, dengan berani dan percaya diri membuka percakapan ramah tamah dengan orang yang baru saja dikenalnya. Luar biasa.

Selanjutnya...

Dalam perjalanan mengajar Angga, akhirnya Adi pun tertarik ikut les juga. Jadilah ia murid saya. Dalam belajar, daya tangkapnya cepat. Proses berpikirnya pun cepat. Urusan prestasi akademik, tidak perlu dikhawatirkan. Adi langganan juara 3 besar di kelasnya.

Selain prestasi akademik yang memuaskan, Adi juga lancar berbahasa inggris, pandai bermain piano, dan menggambar. Saya pernah dibuatkan gambar yang lucu sekali, dan alangkah terkejutnya saya, ketika dia menagih pembayaran. Rupanya Adi bermaksud menjual hasil karyanya pada saya. Hehehe... naluri bisnisnya juga bagus ternyata.

Selama proses belajar-mengajar dengan Adi, semakin banyak saja pertanyaan-pertanyaan kritis terlontar. Biasanya pertanyaan-pertanyaan filosofis yang mendasar atau pertanyaan-pertanyaan ilmiah.

" Mbak Vira kepalanya botak ya? Kok pakai jilbab? "
" Emangnya pake jilbab itu harus ya, buat muslim cewek? "
" Mbak Vira beragama Islam karena orang tua atau karena milih sendiri? "
" Menurut Mbak Vira, teroris yang ngebom itu jahat enggak? "
" Mbak Vira takut mati ga? "
" Menurut Mbak Vira, orang yang poligami itu gimana? "
" Menurut Mbak Vira, adil enggak, kalo seseorang dipilih untuk menjuarai suatu kontes, hanya karena dia berjilbab, dan bukan karena dia berkualitas? "

Itu adalah sedikit pertanyaan kritis dari Adi yang masih saya ingat. Dan ratusan pertanyaan kritis lainnya tentang berbagai hal pernah menjadi topik bahasan kami yang seru di sela-sela pelajaran. 

Pertanyaan-pertanyaan seputar dunia islam adalah pertanyaan yang cukup sering ditanyakan, karena maklum, Adi bukan muslim. Jadi ia seolah meminta penjelasan atau klarifikasi tentang isu-isu yang tengah beredar, langsung dari seorang muslim.

Sebagai guru...

Tentu saja saya harus memberikan jawaban yang jujur dan sejelas-jelasnya pada Adi. Supaya tidak timbul kesalahpahaman yang berujung pada kesalahan persepsinya akan suatu hal.

Sebagai sahabat...

Sebagai guru yang tidak terikat secara formal, saya lebih fleksibel memosisikan diri di hadapan Adi. Kadang jika ia sedang galau... maka saya pun berperan sebagai seorang sahabat yang rela mendengarkan keluh kesahnya dan menikmati saja bad moodnya. Hahaha...

Tapi Adi anak yang baik dan bijak. Jika bad moodnya telah berlalu, dia akan menjadi pelangi warna-warni yang ceria kembali. Dia akan menjadi anak yang manis dan murah hati. 

Saya pribadi banyak belajar dari sifat dan pandangan-pandangan Adi. Walaupun usianya belum dewasa, tapi untuk urusan bijak, Adi juaranya. Kadang saya saja yang orang dewasa, belum tentu mampu sebijak Adi. Cara berpikirnya seringkali seperti melampaui usianya.

Dan... Adi tetaplah anak-anak...

Dia sangat hobi bermain game dan menggambar manga. Cita-citanya adalah menjadi pencipta game dan pembuat komik. Cita-cita yang kurang disetujui oleh ibunya.

" Mama pingin aku jadi dokter, tapi aku enggak suka kerja dibawah tekanan. Kerja dengan risiko nyawa orang. Enggak. Aku maunya kerja yang fun. Jadi aku bisa enjoy. "

Itu jawaban Adi soal cita-cita. Penuh argumen.

Sekarang...

Adi sudah SMA dan sedang aktif-aktifnya ikut ekskul pecinta alam. Jadwalnya padat dan sibuk. Saya pun sudah tidak melayani murid SMA, karena sudah di luar kemampuan saya. Kami sudah jarang bertemu, hanya sesekali bertanya kabar via whatsapp. 

Saya merasa sangat beruntung bisa mengenal Adi dan belajar banyak darinya.

I'll miss u Adi...